“Yahkee, ini hari apa? Hari Sabtu ya? Bhima main Roblox dulu ya!”
Setiap hari Sabtu pagi, anak saya, yang memanggil saya “Yahkee” (Yahkee singkatan dari ‘Ayah Mekel’, fonetik nama saya), selalu bangun dengan lebih bersemangat. Belum sarapan, belum sikat gigi, tapi sudah siap login ke Roblox. Ada yang relate? Mungkin orang tua lain juga ngalamin hal yang sama tiap weekend?
Oleh Michael Martin (Research Manager)
Bagi seorang ayah sekaligus periset seperti saya, percakapan tersebut bukan cuma soal screen time, tapi merupakan sinyal Roblox bukan cuma game, tetapi platform dan ekosistem digital yang merefleksikan masa depan Generasi Alpha dan Gen Z.
Kenapa anak Anda (mungkin) tergila-gila Roblox?
Roblox rilis 2006 dan kini telah berkembang menjadi fenomena global. Platform ini memungkinkan pengguna tidak hanya bermain, tetapi juga menciptakan pengalaman digital mereka sendiri. Di dalam Roblox Studio, pengguna telah merancang jutaan “experiences” yang bisa diakses pemain lain. Hingga kuartal-II 2024, Roblox memiliki lebih dari 79,5 juta pengguna aktif harian, dan sepanjang 2024, jumlah pengguna aktif bulanan global mencapai lebih dari 380 juta.
Gambar 1. Indonesia peringkat tiga peringkat unduhan Roblox terbanyak.
Meskipun tidak ada angka spesifik jumlah unduhan di Indonesia dari Google Play Store, Indonesia dikenal sebagai salah satu pasar mobile game terbesar di dunia. Sebuah posting di X pada Juni 2024 menyebut Indonesia di posisi ketiga setelah Brasil dan AS dalam jumlah unduhan Roblox di perangkat mobile selama 30 hari terakhir. Hal ini menunjukkan tingginya minat pengguna Indonesia terhadap aplikasi Roblox di Google Play Store.
Dengan penetrasi internet di Indonesia mencapai 79,5% (221,5 juta pengguna) pada 2024 dan mayoritas pengguna internet adalah Gen Z (34,4%), Roblox kemungkinan memiliki jutaan pengguna aktif bulanan di Indonesia, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.
Ada dua alasan utama mengapa Roblox begitu menarik bagi pengguna di Indonesia. Pertama, dari sisi aksesibilitas, platform ini bisa digunakan hampir di semua perangkat digital, namun yang paling dominan adalah ponsel. Dengan sekitar 80% sesi pengguna dilakukan melalui perangkat mobile dan tingkat penetrasi smartphone di Indonesia sangat tinggi, Roblox hadir sebagai pilihan yang mudah dijangkau oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Kedua, Roblox memberikan ruang eksplorasi kreativitas luas bagi anak-anak dan remaja.
Mereka tidak hanya bermain, tetapi juga menciptakan.
Lewat Roblox Studio, anak-anak Indonesia bisa menjadi developer sejak dini: membangun game, mendesain dunia, dan belajar storytelling dengan pendekatan fun. Hingga kini, lebih dari 40 juta game telah dibuat oleh komunitas pengguna di seluruh dunia, menjadikan Roblox bukan sekadar hiburan, tapi juga ruang belajar interaktif sekaligus inklusif.
Roblox, lab sosial kaya data
Roblox saat ini sudah menyerupai laboratorium perilaku sosial. Platform ini mendorong kolaborasi, percakapan, dan interaksi antarpengguna, Dua yang disebut terakhir merupakan atribut utama pembelajaran soft skill pasca-pandemi. Anak saya baru berusia lima tahun misalnya, sering bermain di Roblox dengan menjalani aktivitas-aktivitas layaknya dunia nyata: berperan menjadi sopir bus, jaga toko, atau sekadar naik mobil keliling kota bersama teman-teman virtualnya. Mereka belum bicara soal “developer” atau “game design,” tapi dari situ saya melihat bagaimana mereka belajar berinteraksi, berkompromi, dan mengenal dinamika sosial, semua lewat permainan yang terasa spontan dan menyenangkan.
Tak heran jika basis penggunanya sebagian besar berusia di bawah 16 tahun. Data global menunjukkan lebih dari 58% pengguna aktif Roblox berada dalam kelompok usia tersebut. Rinciannya, sebanyak 21% berusia di bawah 9 tahun, 21% berada pada rentang usia 9 – 12 tahun, 16% berusia 13 – 16 tahun, dan sisanya 23% berada pada usia 17–24 tahun. Hal ini menegaskan Roblox adalah platform dominan bagi anak-anak dan remaja dalam membentuk pola interaksi dan identitas digital mereka di era modern.
Bahaya cyberbully, konten tidak pantas, dan predator anak
Namun di balik ruang kolaborasi ini, ada juga sisi gelap yang harus diwaspadai. Pada aspek keamanan, penelitian terbaru dari MDPI memperingatkan meski Roblox berupaya memoderasi otomatis dan manual, dalam prakteknya platform ini masih menghadapi tantangan besar. Artikel "AI Moderation and Legal Frameworks in Child‑Centric Social Media: A Case Study of Roblox" menyebut dalam situasi “real-time” dengan konten user-generated yang masif, moderasi sering gagal mendeteksi potensi risiko seperti cyberbully, konten tidak pantas, dan perilaku predator anak. Penelitian tersebut merekomendasikan pendekatan hibrida antara kombinasi AI dan strategi kebijakan yang ketat, serta kerja sama regulasi internasional untuk meningkatkan proteksi anak.
Langkah ini bukan hanya soal proteksi, tapi juga soal legitimasi: Roblox berupaya membuktikan platform ini layak menjadi ruang aman dan produktif bagi generasi muda. Dengan segala kontroversinya, Roblox tetap menjadi arena penting bagi anak-anak dan remaja untuk berekspresi, belajar bersosialisasi, dan membangun identitas digital mereka secara aktif dan mandiri.
Belajar menarik atensi Gen Alpha dari Roblox
Dari kacamata saya pribadi, saya melihat Roblox bukan hanya game, tapi fenomena budaya digital, membuat kita harus membuka mata jika pendekatan riset konvensional tidak lagi cukup. Roblox bukan hanya menawarkan keseruan bermain bagi anak-anak dan remaja, tapi juga menjadi cermin nilai dan perilaku generasi muda yang harus dipahami oleh para praktisi riset.
Secara sistem, Roblox menganut pendekatan sandbox platform: ia bukan hanya menyediakan satu dunia besar, melainkan menawarkan ribuan mini-universe yang dirancang pengguna. Mulai dari simulasi kehidupan, toko kue, balapan mobil, konstruksi, hingga pengalaman kerja di restoran cepat saji. Beda dengan Minecraft, open-world dan menekankan eksplorasi bebas dalam satu dunia besar serta bisa dibentuk sesuka hati. Roblox justru memecah pengalaman tersebut menjadi fragmen-fragmen kecil agar lebih mudah diakses, lebih spesifik, dan sangat sosial.
Itulah mengapa anak-anak seperti Bhima, anak saya, lebih sering "menjalankan aktivitas" di Roblox seperti mengendarai excavator atau mencoba berbagai macam jenis mobil, ketimbang “membangun dunia” seperti ditawarkan Minecraft. Pola ini secara tidak langsung mencerminkan bagaimana Generasi Alpha lebih tertarik pada pengalaman konkret, relatable, dan mirip keseharian mereka, tapi dalam versi lebih menyenangkan dan penuh kontrol.
Kalau boleh saya sederhanakan...
Pertama, keberhasilan Roblox menunjukkan generasi sekarang menginginkan pengalaman imersif dan personal. Avatar yang bisa dikustomisasi, dunia virtual kreasi mereka sendiri, hingga sistem reward sosial, semua adalah bagian dari insight sangat berharga. Misalnya, anak-anak bisa merasa bangga saat avatar mereka dikomentari temannya, atau saat toko virtual mereka ramai dikunjungi. Itu bentuk validasi sosial yang real. Teman-teman di brand harus memahami anak-anak dan remaja hari ini adalah prosumer, mereka produsen sekaligus konsumen dalam ekosistem digital yang mereka pilih.
Kedua, komunitas di dalam Roblox bukan hanya tempat bersosialisasi, tapi juga tempat belajar dan berbagi. Dalam konteks ini, insight tidak lagi bisa hanya dikumpulkan dari satu titik kontak seperti survei. Dibutuhkan pendekatan etnografi digital, observasi perilaku di komunitas daring, hingga pemetaan jaringan sosial yang lebih dalam agar dapat menangkap pola interaksi.
Ketiga, keberhasilan Roblox membangun keterlibatan melalui gamifikasi membuka jalan bagi brand untuk mengeksplorasi pendekatan riset dan komunikasi yang lebih engaging. Praktisi riset bisa memanfaatkan prinsip ini dalam pengumpulan data, seperti menggunakan mini-games, badge-based response, atau sistem kuis interaktif, tidak hanya mengumpulkan insight, tapi juga memberikan pengalaman menyenangkan bagi responden.
Keempat, Roblox membuktikan insight terbaik datang dari pemahaman konteks, bukan asumsi. Teman-teman di brand harus siap turun ke ekosistem digital yang relevan, belajar dari komunitas di dalamnya, serta memahami motivasi yang mendorong pengguna tetap kembali ke platform. Insight tidak bisa datang dari jauh. Ia harus hadir dari keterlibatan langsung.
Dan kelima, praktik riset hari ini harus melihat keberadaan digital platform seperti Roblox adalah bagian dari peta perilaku konsumen yang baru. Insight untuk brand tidak cukup hanya mengetahui apa yang disukai responden. Kita harus memahami kenapa mereka menyukai, bagaimana mereka berinteraksi, dan dalam konteks apa mereka menghidupi pengalaman tersebut. Dari situ, strategi bisa dibangun, dan keputusan bisa lebih berbasis kenyataan, bukan dugaan semata.
Marketer musti tiru cara Roblox gaet market masa depan
Roblox bukan cuma tren, tetapi juga berfungsi sebagai sinyal zaman. Ketika anak-anak tak lagi cuma nonton kartun di TV, tapi membangun dunia mereka sendiri di Roblox, kita harus menyadari lanskap masa kecil telah berubah. Anak-anak Gen Z dan Alpha tumbuh dalam dunia di mana batas antara realitas dan digital kian kabur, dan platform seperti Roblox bukan hanya tempat bermain, melainkan juga tempat belajar, berekspresi, dan membangun komunitas.
Bagi para profesional di bidang pemasaran, riset, dan branding, ini adalah panggilan untuk menggeser paradigma. Kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan-pendekatan lama, yang hanya menyasar 'market' tanpa memahami 'mindset'. Gen Z dan Alpha bukan audiens pasif. Mereka aktif membentuk narasi mereka sendiri. Dan jika kita ingin tetap relevan, kita harus siap menyelami dunia mereka: mengenali bahasa mereka, platform mereka, dan nilai yang mereka junjung.
Itu berarti lebih dari “hanya” hadir di media sosial atau bikin kampanye viral, tetapi juga membangun interaksi otentik, kolaboratif, dan berbasis pengalaman. Seperti Roblox yang memungkinkan anak-anak menciptakan dan mengeksplorasi, brand juga harus memberikan ruang kepada audiens muda untuk ikut serta, bukan hanya jadi target.
Gambar 2. Choki-Choki hadir di Roblox
Beberapa brand bahkan sudah memulai. Tercatat brand besar seperti Walmart (Walmart Discovered), Gucci (Gucci Town dan Gucci X Vans), Choki-Choki (Choki-Choki Land), Hello Kitty (My Hello Kitty Café: Tycoon), Crocs (Crocs World: Tycoon), telah masuk ke Roblox untuk memanfaatkan platform ini guna menjangkau audiens muda, terutama Generasi Z dan Alpha. Hemat saya, brand melakukan hal ini bukan cuma gimmick pemasaran, tetapi menjadi bagian dari strategi jangka panjang membangun koneksi dengan prosumen masa depan.
Karena kalau kita jujur, pendekatan gamifikasi konvensional yang dulu populer, seperti mengajak anak mengumpulkan stiker, atau mengunduh aplikasi khusus dari kemasan mi gelas, sekarang makin terasa tidak relevan. Anak-anak ini sudah punya ekosistem game mereka sendiri, mereka terbiasa dengan dunia online, sosial, dan bisa diakses dari satu platform tanpa perlu install tambahan.
Minta mereka pindah platform hanya untuk redeem poin atau klaim hadiah, itu seperti mengajak mereka keluar dari rumah yang sudah nyaman. Maka dari itu, alih-alih memaksakan ekosistem sendiri, brand yang cerdas justru menyusup ke dunia mereka.
Bukan cuma membangun awareness, tapi menyisipkan pengalaman brand ke dalam waktu bermain anak-anak. Dengan format fun dan immersive, brand-brand secara halus bisa menanamkan asosiasi positif sejak dini. Mungkin ini yang disebut: menanam brand di alam bawah sadar, saat mereka belum bisa membedakan mana dunia nyata dan mana dunia digital, karena keduanya sama-sama hidup di layar dan di ingatan. Apakah kita sedang menyaksikan bentuk baru dari strategi pemasaran jangka panjang, menargetkan konsumen... bahkan sebelum mereka bisa lancar membaca?
Dan untuk saya sebagai seorang ayah, Roblox adalah menjadi pengingat untuk tetap open minded. Dunia anak saya mungkin tidak bisa selalu dipahami, tapi bisa saya dekati jika saya mau mendengarkan, mengamati, bertanya, dan ikut ke dalamnya, walau terasa asing di awal.
Oke, kalau begitu, sampai sini dulu ya pembahasannya. Saya mau balik main lagi sama Bhima. Karena bagi saya, insight terbaik tidak bisa datang hanya dari observasi...
tapi dari ikut main bareng.
Editor: Hendy Adhitya