My Chemical Romance tampil sebagai headliner utama Hammersonic 2026 dengan harga tiket Rp 3 juta (Presale 1), Rp 3,2 juta (Presale 2), dan Rp 3,6 juta (General Sale). Walau headliner yang diumumkan secara resmi baru My Chemical Romance, kedua kategori presale Hammersonic 2026 telah sold out hanya dalam waktu 35 menit setelah dibuka. Padahal genre musik emo juga tak terlalu pop amat sekarang. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?
Oleh Mia Fatimah (Project Manager)
Nostalgia adalah produk dan kita terus membelinya
My Chemical Romance bukan sekadar band. Mereka adalah harta arkeologis generasi yang tumbuh besar di era Friendster dan warnet. Bagi banyak orang yang sekarang berusia 30-an, lagu seperti Helena atau Welcome to the Black Parade bukan sekadar lagu, namun artefak dari fase kehidupan saat mereka pertama kali menangis karena cinta bertepuk sebelah tangan.
Dan begini cara kerja nostalgia di ranah konsumsi: Ketika hidup mulai didominasi cicilan, lapor SPT pajak, notifikasi WhatsApp dari grup RT dan tekanan mertua, insight seekers mulai mencari pelarian. Tapi bukan ke masa depan yang penuh ketidakpastian, melainkan ke masa lalu (ufl.edu, 2025).
Tiket menonton My Chemical Romance bukan sekadar akses nonton musik, melainkan mesin waktu berbayar yang akan membawa insight seekers duduk, nyanyi keras-keras, sambil membayangkan masih berusia 17 tahun dan dunia belum terlalu rumit.
Di era ketika konsumen disuguhi terlalu banyak pilihan, nostalgia adalah emotional shortcut yang sangat efektif (Pilat & Krastev). Ia menciptakan keterhubungan instan. Dan dalam strategi branding, koneksi seperti ini lebih menyentuh konsumen dibanding gimmick viral sesaat.
Market utama yang sekarang dewasa dan punya (sedikit) uang
Dua dekade lalu kita menyebutnya “anak Emo.” Rambutnya panjang sebelah di satu sisi hampir menutupi mata, dengan baju hitam meski suhu Jakarta 33°C. Tapi sekarang? Mereka adalah target konsumen. Usia 28–39 tahun. Stabil, punya gaji, beberapa sudah punya anak, bahkan kartu kredit.
Uniknya berdasarkan temuan Indonesia Millennial Report 2024 (IDN Times, 2023) sebagian besar milenial di Indonesia memiliki penghasilan bulanan di bawah Rp 5 juta rupiah. Meski pendapatan di kota besar akan lebih tinggi (anggap saja 2x lipat), di sini kita bisa lihat dengan pendapatan 'hanya segitu', mereka rela menghabiskan setengah pendapatan bulanannya atau bahkan seluruhnya (jika mengambil rerata laporan tersebut) untuk menonton MCR!
Hmm, gaya elit ekonomi sulit?
Gambar 1. Indonesia Millennial Report 2024 - Financial Preferences
Artinya temuan tersebut masih relevan dengan studi Eventbrite yang sudah lama sekali di 2014 silam, di mana 78% konsumen milenial lebih memilih menghabiskan uang untuk pengalaman daripada barang. Dengan kebutuhan akan pengalaman, menonton My Chemical Romance seolah menjadi jawaban.
Momen ini sekaligus mengingatkan kembali kejadian dua tahun silam, di mana banyak anak muda memakai Pinjol untuk menonton konser, Coldplay misalnya (detikcom, 2023).
Tampaknya kita bakal mengulang sejarah. Menurut hasil survei terbaru online platform Tunaiku (2025) ditemukan 41,3% responden mengaku membeli tiket konser secara impulsif memakai paylater, pinjol atau cicilan kartu kredit.
Uniknya, masih berdasarkan laporan tersebut, kelompok usia kisaran 31-40 tahun alias milenial yang paling banyak melakukan hal tersebut. Gen Z (usia 21-30 tahun) cenderung lebih mempersiapkan dana konser alias punya tabungan khusus.
Relevansi My Chemical Romance : Bukan hanya tentang tren, tapi trauma
Alasan My Chemical Romance tetap relevan bukan karena mereka berusaha hadir di TikTok. Mereka bahkan bukan band yang "ramah algoritma". Tapi mereka menang di satu hal yang sekarang jadi mata uang sosial paling mahal: emosi yang jujur.
Kita hidup di era yang absurd. Ekonomi tidak pasti. Pemanasan global. Kita diminta untuk selalu produktif tapi juga harus mindful. Dan saat semuanya membingungkan, lagu-lagu My Chemical Romance seperti I’m Not Okay (I Promise) terdengar seperti pelukan jujur. Mereka tidak menyuruh insight seekers sembuh. Mereka bilang, “Ya, kamu hancur. Dan itu valid.”
Di saat banyak konten self-help terdengar seperti tuntutan baru ("kamu harus bangkit"), My Chemical Romance justru memberi ruang untuk merasa hancur tanpa tekanan untuk membaik. Mereka menormalkan rasa sakit itu bagian dari hidup, bukan sesuatu yang harus buru-buru dibereskan demi performa sosial (Buckingham, 2017; Lewis, 2022). My Chemical Romance adalah arsip emosi kolektif kita. Dan dalam dunia yang terlalu cepat berpindah dari satu tren ke tren lain, koneksi emosional yang seperti ini jauh lebih langka.
Gambar 2. Esai menarik dari David Buckingham tentang subkultur Emo (2017)
Apa yang bisa dipelajari brand dari My Chemical Romance?
Bagi perusahaan atau brand: emosi adalah mata uang, dan hari ini, konsumen tidak hanya membeli produk. Mereka membeli cerita. Mereka membeli rasa terhubung (Musa, 2025). Jadi ketika insight seekers berpikir soal membangun koneksi dengan konsumen Gen Y atau Z, jangan cuma pikir soal memeable content. Pikirkan meaningful engagement: cerita yang resonan (bukan sekadar iklan) dan nilai yang autentik (bukan klaim kosong). Ketika narasi brand bisa menyatu dengan narasi hidup konsumen, loyalitas terbentuk bukan karena diskon, tapi karena relevansi emosional.
Dan di sini peran market research jadi krusial
Kalau insight seekers adalah decision maker yang ingin tetap relevan, bukan cuma di feed tapi di hati audiens, nggak cukup pakai template. Insight seekers butuh insight. Butuh cerita. Butuh tahu kenapa mereka beli, bukan cuma apa yang mereka beli.
Butuh partner yang bisa bantu menggali insight emosional seperti ini?
Yuk ngobrol. Kami bantu insight seekers membaca konsumen lebih dalam, bukan cuma sebagai target market, tapi sebagai manusia dengan luka, harapan, dan playlist masa lalu yang masih mereka dengar sampai hari ini.