

Banyak pemasar klasik meyakini kesuksesan merek terletak pada menciptakan loyalitas pelanggan penuh, memupuk brand evangelist yang setia sampai mati, dan menjadikan merek begitu eksklusif hingga konsumen ogah melirik pesaing. Konsep-konsep ini terdengar ideal pastinya, bahkan tidak sedikit dari Anda meyakininya seperti kitab suci: siapa yang tak ingin pelanggan yang hanya membeli produk kita seumur hidup?
Namun, realitas di lapangan – khususnya di industri FMCG, ritel modern, dan media massa – jauh lebih kompleks. Alih-alih setia 100% pada satu merek, perilaku konsumen sehari-hari cenderung “selingkuh” merek: mereka punya daftar favorit dan bergonta-ganti di antaranya sesuai kebutuhan. Paradigma ini dikenal dalam teori pemasaran sebagai repertoire market, dan bukti akademis menunjukkan loyalitas absolut adalah pengecualian, bukan aturan.
Sadari dari diri Anda, kita semua punya repertoarnya masing-masing
Pernah terpikir kenapa Anda bisa membeli biskuit Roma hari ini, lalu Khong Guan minggu depan, dan hmm katakanlah Oreo saat sedang diskon? Atau kenapa kadang mampir ke Alfamart, lain waktu ke Indomaret, atau bahkan warung Madura dekat rumah Anda?
Bahkan dalam urusan hiburan, Anda mungkin berpindah antara NET., Trans7, YouTube, atau TikTok, atau jangan-jangan sekarang Anda sedang berlangganan Netflix dan Vidio? tergantung suasana hati dan acara yang sedang menarik. Tanpa disadari, Anda sudah menjalani pola konsumsi yang disebut sebagai repertoar (memiliki beberapa merek atau pilihan yang dipakai bergantian sesuai kebutuhan).
Itulah yang disebut pasar repertoar: konsumen tidak mencari satu merek untuk dicintai selamanya. Mereka ingin pilihan, fleksibilitas, dan kemudahan. Jadi sebelum berharap konsumen setia mutlak pada brand Anda, coba lihat dulu perilaku diri sendiri. Kemungkinan besar, Anda juga tidak setia 100% pada satu merek pun—dan itu bukan karena tidak puas, tapi karena itulah cara manusia membuat keputusan dalam kategori yang tersedia luas dan mirip-mirip.
Gambar 1: Ilustrasi oleh Tom Fishburne
Simak penjelasan ilmiahnya
Istilah repertoire market dipopulerkan Byron Sharp, Wright, dan Goodhardt untuk menggambarkan jenis pasar di mana konsumen memiliki “repertoar” beberapa merek yang mereka beli bergantian (dalam Sharp, 2007).
Dalam kategori ini, nyaris tiada pembeli yang 100% loyal pada satu merek saja. Rata-rata pelanggan hanya memenuhi kurang dari setengah kebutuhan kategorinya dengan satu merek tertentu.
Artinya, jika hari ini merek Anda terpilih dalam keranjang belanja konsumen, hal serupa terulang kemungkinannya adalah di bawah 50% di hari berbeda.
Sebaliknya, ada tipe pasar lain yang disebut subscription market, di mana konsumen cenderung membeli satu merek saja (repertoarnya sangat kecil), sehingga metrik loyalitas per merek jauh lebih tinggi (Sharp, 2007). Contoh mudah subscription market misalnya layanan berlangganan tertentu atau kategori dengan hambatan tinggi untuk berganti merek (misal mobil, rumah) namun kategori semacam ini ternyata minoritas.
Penelitian Byron Sharp (2007) memperkuat konsep di atas dengan data nyata. Dalam studinya terhadap 468 dataset kategori produk konsumsi, hampir seluruh kategori terbukti berperilaku repertoar. Bahkan, 90% lebih dari kategori yang diteliti memiliki nilai S > 0,8, menandakan bahwa sangat jarang konsumen yang loyal 100% hanya kepada satu merek. Hanya 4% dataset yang menunjukkan S sedikit di bawah 0,6, dan menariknya kategori-kategori berloyalitas tinggi itu justru kategori jadul yang sedang menurun, berpenetrasi rendah, dan mengandalkan pembeli usia tua.
Temuan ini memunculkan pertanyaan kritis: jangan-jangan loyalitas tinggi justru pertanda merek gagal mendapatkan pelanggan baru? Dengan kata lain, bila sebuah merek hanya punya segelintir pembeli tapi mereka sangat loyal, mungkin masalah utamanya adalah merek tersebut kurang menarik bagi pembeli lain di pasar.
Jadi, apakah pelanggan setia itu benar-benar 'ada'?
Data empiris pemasaran menunjukkan loyalitas merek memiliki batas alamiah. Dalam banyak kategori kompetitif, hampir semua merek (besar dan kecil) punya tingkat loyalitas serupa; perbedaannya hanya pada jumlah pelanggan (market penetration) (Sharp, 2011). Merek besar tumbuh bukan karena berhasil mengumpulkan fan fanatik yang membeli berkali-kali, melainkan karena berhasil merekrut lebih banyak pembeli dibanding merek kecil. Hukum “Double Jeopardy” dalam pemasaran mengatakan: merek kecil rugi dua kali, pelanggannya lebih sedikit dan rata-rata kurang loyal (Sharp, 2011).
Namun perlu dicatat, bahkan pelanggan merek besar pun umumnya “loyal tapi tidak eksklusif”. Dalam riset Byron Sharp, konsumen disebut “promiscuous loyals” – loyal tapi mudah berpindah sesuai ketersediaan dan situasi (Sharp, 2011). Bayangkan, 72% peminum Coca-Cola di Inggris ternyata juga membeli Pepsi dalam suatu periode. Sebuah penelitian lain dari Surabaya (Sofiana & Budiadi, 2015) menemukan makin beragamnya pilihan merek mi instan, berpengaruh kuat terhadap perpindahan merek para konsumen Indomie di sana.
Ini bukti konkret mayoritas konsumen tidak eksklusif pada salah satu merek saja. Loyalitas penuh a la brand evangelist mungkin ada, tapi jumlahnya sangat kecil dan sering tidak proporsional terhadap penjualan total.

Mitos “loyalitas pelanggan seumur hidup” juga berbahaya jika membuat marketer abai pada realita pasar. Byron Sharp dalam How Brands Grow (2010) menegaskan mengejar pelanggan super-loyal lewat program retensi dan loyalitas sebenarnya tidak efektif untuk pertumbuhan. Konsumen membeli lebih karena kebiasaan dan ketersediaan, bukan karena ikatan emosional mendalam. Itulah sebabnya banyak program loyalty card, komunitas brand fanatik, atau upaya menciptakan lovemarks gagal memberi dampak signifikan pada pangsa pasar.
Seperti kata pepatah anonim: “ingin pelanggan setia sepenuhnya? Peliharalah anjing.” Kenyataannya, dalam banyak kategori, loyalty is largely a myth, pelanggan paling banter bersifat loyalitas semu yang tetap “berkeliaran” di antara beberapa merek.
Lalu bagaimana sebaiknya?
Jangkau lebih banyak konsumen, jangan terpaku melayani segelintir fan berat. Byron Sharp (2010) menemukan perbedaan market share antarmerek hampir selalu bisa dijelaskan oleh perbedaan jumlah pembeli (penetrasi), bukan oleh seberapa setia pembeli tersebut.
Artinya, merek tumbuh dengan menambah pelanggan baru lebih banyak, bukan dengan membuat tiap pelanggan beli lebih sering (Sharp, 2010)
Gambar 2: How Brands Grow, Byron Sharp (2010)
Anda tidak bisa memaksa konsumen makan ayam di restoran KFC 3 kali sehari hanya demi meningkatkan loyalitas mereka. Lebih masuk akal mendapatkan 3 konsumen baru yang masing-masing makan ayam di restoran KFC sesekali. Itulah sebabnya dalam pasar repertoar, penetrasi jauh lebih penting daripada retensi. Merek besar unggul karena berhasil merekrut massa pengguna yang luas, sementara merek kecil sering terlalu fokus pada basis pelanggan sempit.
Artinya, pastikan merek Anda dicoba oleh sebanyak mungkin konsumen baru. Fokuslah menggaet pembeli light users dan non-users agar mau memasukkan brand Anda ke daftar keranjang belanja mereka. Berhenti berlebihan mengandalkan segelintir pelanggan berat; Byron Sharp (2010) bilang kontribusi terbesar penjualan justru datang dari banyaknya orang yang membeli sesekali.
Selain itu, visibilitas merek menjadi krusial. Dalam konteks Byron Sharp, ini diterjemahkan sebagai “mental availability” (merek mudah diingat, muncul di benak konsumen saat momen membeli) dan “physical availability” (merek mudah ditemukan secara fisik di mana-mana) (2011). Keluasan jangkauan distribusi memastikan produk Anda selalu ada saat konsumen mencarinya. Komunikasi dan branding yang konsisten memastikan konsumen akrab dengan merek Anda dan mempertimbangkannya di antara repertoar pilihannya.
Penelitian menunjukkan merek dengan distribusi >80% outlet potensial cenderung meraih pangsa lebih besar (Sharp dalam Sharley, 2024). Jangan biarkan calon pembeli beralih ke kompetitor hanya karena produk Anda tidak ada di rak saat dicari.
Friendly reminder: tinggalkan mitos lama
Di era persaingan ketat lintas merek seperti sekarang, mengejar mimpi memiliki pelanggan yang 100% loyal bagaikan mengejar fatamorgana. Fakta pasar menunjukkan konsumen akan selalu memiliki pilihan alternatif, bahkan yang setia terkadang “selingkuh” dengan brand lain.
Daripada terjebak memburu loyalitas eksklusif atau menciptakan brand evangelist yang langka, para pemasar sebaiknya mengalihkan energi untuk memastikan mereknya dipilih oleh sebanyak mungkin orang, sebanyak mungkin kesempatan. Teori dan riset repertoire market memberi pelajaran berharga: pertumbuhan datang dari penetrasi dan visibilitas, bukan dari fanatisme segelintir pelanggan.
Mari ubah kerangka pikir pemasaran kita. Ini mungkin bukan opini populer. Fokuslah memenangkan hati konsumen saat ini juga, jadilah pilihan yang mudah dan hadir di mana-mana. Dengan begitu, merek Anda akan masuk dalam repertoar banyak konsumen, dan dari situlah loyalitas sejati yang bernilai bisnis akan terbentuk: loyalitas yang diukur bukan dari eksklusivitas, tapi dari seberapa luas Anda berhasil meraih perhatian dan pilihan konsumen sehari-hari.
Oh, dan satu hal, ada satu langkah penting yang belum kami ungkap di artikel ini, kunci agar merek Anda benar-benar kompetitif di pasar repertoar. Tenang, kami akan dengan senang hati membagikannya. Silakan hubungi kami untuk membahasnya lebih jauh.
Email: marketing@proximaresearch.co.id
Contact: +6282299988600
Editor: Hendy Adhitya