

Pasar properti residensial di Indonesia dalam setahun belakangan menunjukkan dinamika yang patut dicermati. Berdasarkan hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) BI Triwulan III 2025, dari sisi penjualan, meskipun ada sedikit perbaikan dibanding kuartal sebelumnya, total penjualan unit di pasar primer masih mencatat kontraksi -1,29% (yoy).

Namun menariknya: kontraksi ini tidak merata, unit rumah tipe kecil justru mencatatkan peningkatan penjualan cukup signifikan, dengan lonjakan +14,95% (yoy). Sementara rumah tipe menengah dan besar tetap menghadapi tekanan (BI, 2025).
Situasi ini memperjelas pasar properti saat ini tidak lagi homogen. Perbedaan preferensi segmen (terutama pergeseran ke rumah kecil) menunjukkan konsumen bukannya menahan pengeluaran di tengah kondisi ekonomi makro sedang tidak baik-baik saja, tapi semakin selektif, lebih mempertimbangkan aspek fungsional, kebutuhan nyata, serta sensitivitas terhadap harga dan nilai.
Dalam konteks ini, rumah bukan sebidang tanah dengan bangunan melainkan kombinasi antara produk fisik dan narasi yang relevan: rumah sebagai solusi hunian efisien, aman, dan sesuai gaya hidup masa kini. Itu sebabnya storytelling properti menjadi elemen kunci bagi developer yang ingin tetap relevan dan menarik minat beli.
Sensitivitas Pasca-COVID
Banyak penelitian menunjukkan keputusan membeli rumah dipengaruhi kombinasi faktor rasional dan emosional, mulai dari harga, lokasi, kualitas fisik, legalitas, hingga persepsi akan kenyamanan dan keamanan. Faktor klasik seperti lokasi strategis, aksesibilitas, kualitas bangunan, fasilitas lingkungan, reputasi developer, dan kemudahan pembiayaan tetap jadi pilar utama (Yan & Ming, 2024; Santoso & Anas, 2021; Aljufri et. al, 2021).
Namun dinamika pasar dan perilaku konsumen terus berkembang. Sejalan dengan pergeseran ke rumah kecil pada 2024–2025 seperti disebutkan pada data BI di atas, konsumen semakin memprioritaskan efisiensi ruang, biaya terjangkau, dan fungsi praktis, bukan sekadar rumah luas sebagai status sosial.
Tren ini ditengarai masih berkorelasi dengan perubahan preferensi pasca-COVID: pembeli menjadi lebih sensitif terhadap harga, lebih berhati-hati mengambil keputusan besar, dan mencari stabilitas serta fleksibilitas (Chen & Wang, 2023). Di kondisi seperti ini, harga dan lokasi saja tidak cukup, pemasaran harus mampu menggambarkan nilai tambah: keamanan, kenyamanan, efisiensi, serta rasa jika mereka membuat keputusan tepat.
Hasil riset (Sitanggang, 2024) menunjukkan pembeli rumah di area Jakarta, terutama untuk buyer milenial atau keluarga muda, adalah efektivitas, tanpa beban kelebihan kapasitas disertai jaminan lingkungan yang aman (dengan fitur CCTV), jarak antara rumah cukup, dan tenang. Storytelling properti, dalam hal ini, membantu mengkomunikasikan nilai fungsional + emosional itu dalam satu narasi utuh.

Mengapa storytelling properti krusial
Artinya membeli rumah hari ini adalah soal harapan, aspirasi, dan identitas. Seiring dengan melemahnya daya beli untuk rumah besar dan menengah, rumah kecil atau entry-level menjadi favorit; tetapi untuk menarik mereka, developer harus mampu menawarkan lebih dari bata dan semen. Mereka perlu menawarkan cerita: imajinasi tentang kehidupan, stabilitas, efisiensi, rasa aman, dan harapan masa depan.
Dalam lanskap yang makin kompetitif dan sensitif harga, pemasaran properti harus lebih dari sekadar katalog yaitu harus bisa “menghidupkan” rumah di benak calon pembeli. Studi menunjukkan desain display (maket), show-unit, dan onsite sales journey berpengaruh kuat terhadap intensi calon pembeli rumah (Gou et al., 2025; Tochaiwat et al., 2022). Sebanding dengan itu juga, pengalaman buruk saat kunjungan calon pembeli ke lokasi atau marketing gallery dapat menurunkan minat dan menggagalkan konversi, bahkan ketika harga atau produknya lebih murah dari kompetitor. (Ehrs & Lindfors, 2018; Raditya & Harianto, 2024).
Selain itu, sesuai temuan Chen & Wang (2023), framing positif atau negatif dalam komunikasi visual dan linguistik dapat meningkatkan atau menurunkan intensi pembelian rumah dengan memengaruhi tingkat optimisme dan pesimisme calon pembeli. Dalam praktik pemasaran properti, framing dapat diwujudkan melalui pesan seperti ‘smart opportunity’ (framing positif) atau ‘risky commitment’ (framing negatif).
Pengalaman visual dan emosional ini sangat penting, keduanya membantu membangun kepercayaan, citra kualitas, dan aspirasi masa depan yang melekat pada rumah. Dalam situasi penjualan yang sulit (harga tumbuh tipis, daya beli tertekan), storytelling dan pengalaman pemasaran bisa menjadi pembeda kunci.
Ajakan untuk developer
Kondisi pasar properti Indonesia saat ini, dengan pertumbuhan harga yang melambat, penjualan menyusut secara umum, dan pergeseran minat ke rumah kecil, menunjukkan rumah bukan sekadar aset fisik. Rumah adalah produk yang harus dikemas dengan narasi relevan, emosional, dan adaptif terhadap realitas pasar.
Developer yang mampu menggabungkan data pasar terkini (tren segmen, harga, daya beli), kualitas produk, serta strategi pemasaran, framing, dan storytelling yang tepat berpeluang lebih besar memenangkan minat beli.
Jika Anda ingin memahami preferensi konsumen terbaru, atau menguji efektivitas strategi pemasaran & positioning proyek Anda, layanan riset dari Proxima Research siap membantu.
Konsultasi sekarang untuk mengubah insight pasar menjadi strategi yang tepat sasaran dan efektif. Gratis.
Email: marketing@proximaresearch.co.id
Contact: +6282299988600
Editor: Hendy Adhitya