Abstrak
One Piece bukan sekadar kisah bajak laut, tapi juga narasi strategis yang relevan untuk memahami bagaimana brand bisa naik kelas di tengah arena persaingan. Melalui kacamata Pierre Bourdieu, perjalanan Monkey D. Luffy menunjukkan bagaimana modal ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik dapat dikonversi untuk mencapai posisi tertinggi, menjadi Kaizoku ou ni. Luffy tidak memulai dengan modal ekonomi besar, tapi ia punya modal kultural: kekuatan Buah Gomu Gomu dan tempaan masa kecilnya (Arc Romance Dawn). Ia membangun modal sosial lewat pertemanan (Zoro, Nami, Usopp, Sanji, Chopper, Robin, Franky, Brook, Jinbe) dan aliansi (Bajak Laut Heart), dan mengubah reputasi menjadi modal simbolik setelah mengalahkan Crocodile (Arc Arabasta) hingga Kaido (Arc Wano). Bagi brand, kisah ini mengajarkan bahwa starting from zero bukan halangan, selama mampu memahami arena persaingan, membentuk habitus yang adaptif, dan mengonversi kekuatan internal jadi pengaruh eksternal. Dalam dunia bisnis, modal sosial bisa jadi komunitas, modal simbolik bisa jadi brand trust, dan modal kultural bisa berupa inovasi. Maka, strategi Luffy layak ditiru: bukan dengan bujet tak terbatas, tapi dengan visi yang jelas, relasi yang kuat, dan positioning yang konsisten. Barangkali, brand Anda cuma butuh satu langkah lagi menuju Grand Line.
Oleh Hendy Adhitya
Empat Modal, Arena, dan Habitus dalam Perjalanan Luffy
Modal kultural pertama Luffy: Gomu-Gomu No Mi (Copyright Eiichiro Oda)
Perjalanan Monkey D. Luffy dalam manga One Piece karya Eiichiro Oda adalah ilustrasi sempurna tentang teori Pierre Bourdieu mengenai empat modal utama: ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik (Bourdieu dalam Richardson, 1986). Awalnya, Luffy memulai dengan modal ekonomi minim, tanpa kapal besar atau dana besar untuk petualangannya. Sebaliknya, ia memanfaatkan modal kultural kekuatan buah Gomu Gomu yang diperoleh secara tidak sengaja (Arc Romance Dawn, Chapter 1), ditambah tempaan masa kecil bersama Ace, Sabo, dan Garp sang kakek yang keras (Arc Post-Marineford). Modal kultural ini berupa keterampilan bertarung dan keberanian luar biasa.
Namun, kelebihan terbesar Luffy adalah kemampuannya mengonversi keterbatasan modal ekonomi menjadi modal sosial melalui hubungan personal. Misalnya ketika Luffy menyelamatkan Zoro dari Kapten Morgan (Arc Romance Dawn), ia bukan hanya mendapatkan kru pertama, tetapi juga menciptakan fondasi loyalitas yang kuat. Modal sosial ini semakin besar setelah menyelamatkan Nami dari cengkeraman Arlong (Arc Arlong Park) dan merekrut Usopp serta menerima hadiah kapal Going Merry dari Kaya (Arc Syrup Village), yang merupakan konversi jelas dari modal sosial menjadi modal ekonomi.
Selama Time Skip, Luffy dan kru harus meningkatkan modal kulturalnya sebelum memasuki Dunia Baru (Copyright Eiichiro Oda)
Selanjutnya, modal kultural Luffy terus meningkat. Ia mengasah keterampilan bertarung, terutama setelah berlatih Haki bersama Rayleigh (Arc Return to Sabaody) selama masa Time Skip, menunjukkan ia memahami pentingnya peningkatan kompetensi secara berkelanjutan sebelum memasuki Dunia Baru. Di mana hal ini juga (dipaksa) diterapkan oleh semua anggota Kru Bajak Laut Topi Jerami, mereka 'menghilang' dan secara terpisah menempa diri selama dua tahun. Modal kultural ini menjadi alat strategisnya dalam menghadapi lawan yang jauh lebih kuat secara ekonomi maupun secara simbolik.
Adapun modal simbolik, Luffy memperolehnya lewat reputasi dan bounty yang melonjak pesat. Setelah mengalahkan Crocodile (Arc Alabasta), namanya mulai mendapat perhatian dunia. Posisi simboliknya semakin diperhitungkan setelah mengalahkan Yonko Kaido (Arc Wano). Dalam konsep Bourdieu (dalam Ihlen, 2018), modal simbolik ini memberikan legitimasi, membuat lawan berpikir dua kali sebelum menghadapi dirinya, sekaligus memperkuat modal sosial dengan menarik sekutu baru yang kagum dengan pencapaiannya. Meski sebelumnya Bajak Laut Topi Jerami telah mendapatkan sekutu yang teramat banyak sejak Arc Dressrosa bernama Armada Besar Topi Jerami (Cavendish, Bartolomeo, Sai, Ideo, Leo, Hajrudin, Orlumbus).
Untuk mengalahkan market leader, dibentuklah aliansi. Mirip kisah brand tertentu?
Teori arena dan habitus dari Bourdieu (dalam Rosyadah, 2018; Edgerton, 2014) juga sangat terlihat dalam perjalanan Luffy. Arena di sini adalah dunia bajak laut dengan berbagai aturan dan hirarki ketat. Luffy dengan jelas memahami modal ekonomi semata tidak cukup untuk sukses di arena ini. Sebaliknya, habitus uniknya, sikap spontan, keberanian ekstrem, serta kecenderungan melanggar aturan demi keadilan dan pertemanan, seringkali menciptakan kejutan yang mengguncang struktur kekuasaan di dunia bajak laut. Ingat, ketika ia memukul Tenryuubito/Saint Charlos salah satu Kaum Naga Langit di Sabaody? (Arc Sabaody Archipelago), tindakan yang sangat melawan norma namun memperkuat modal simboliknya.
Strategi Luffy, pada akhirnya, merupakan kombinasi cerdas dari pengelolaan modal yang ia miliki, konversi antarmodal yang efektif, dan pemahaman intuitifnya tentang arena bajak laut. Ia berhasil melampaui keterbatasan modal ekonomi dengan kreativitas strategisnya, membangun modal sosial melalui aksi nyata, memperkuat modal kultural lewat latihan, dan memperbesar modal simbolik lewat pencapaian yang mencolok. Barangkali Luffy terlihat "bodoh", tetapi cara dia berstrategi sesungguhnya sangat cerdik, bahkan selevel dengan sosiolog sekelas Bourdieu.
Bagaimana Brand Bisa Meniru Strategi Luffy
Kisah Luffy dalam One Piece memberikan pelajaran berharga bagi brand yang ingin sukses di tengah arena kompetisi pasar modern. Dalam perspektif teori Bourdieu, brand harus memahami pentingnya empat modal dan bagaimana mengonversinya secara strategis.
Modal kultural bagi brand bisa berupa nilai otentik atau keunikan produk. Di sini Anda pasti lebih paham sebagai brand owner yang familiar dengan konsep unique selling point (Stone, 2001) atau konsep PODs vs POPs dari Kevin Lane Keller yang pernah saya bahas di tulisan lain.
Contoh nyata dari Indonesia adalah Kopi Kenangan, yang secara cerdas memanfaatkan unsur lokal, baik dalam penamaan produk unik (Kopi Kenangan Mantan, Minuman Selingkuhan) hingga suasana gerainya untuk menciptakan daya tarik yang kuat di kalangan konsumen muda. Bahkan kehadirannya kini telah mampu menyaingi salah satu Yonkou, yaitu Starbucks. Padahal modal ekonomi awal juga tidak besar-besar amat, pendirinya memulai di tahun 2017 di area seluas 12 m2 di kawasan Menara Standard Chatered, Jakarta Selatan dengan modal awal Rp150 juta (pikiran rakyat).
Kopi Kenangan telah melampaui Starbucks dari sisi preferensi favorit
Brand juga harus cermat membangun modal sosialnya. Sociolla, sebuah platform kecantikan lokal, berhasil membangun komunitas pengguna yang solid dengan mengedepankan reviu autentik dari pengguna, interaksi rutin, dan edukasi konsumen. Brand yang memulai dari ruko kecil dengan lima karyawan pada 2015 lalu ini kini telah memiliki jaringan terdiri lebih dari 7 juta anggota dan menampilkan lebih dari 3,5 juta reviu produk (Swa.co.id; Kumparan.com). Dengan membangun hubungan personal dan komunitas pengguna yang kuat, Sociolla secara efektif meningkatkan modal simboliknya sebagai platform tepercaya di bidang kecantikan.
Top 7 Beauty E-Commerce Favorit (Jakpat, 2022)
Modal simbolik bagi brand berarti reputasi dan pengakuan pasar. Contohnya Wardah, brand kosmetik halal yang telah memperoleh reputasi unggul dalam kualitas dan integritas produk (Fatimah, 2025). Dengan citra yang kuat ini, Wardah mampu memperluas jangkauan pasar, bahkan di pasar internasional. Reputasi yang kuat juga memungkinkan Wardah mendapatkan loyalitas konsumen tinggi yang berujung pada modal ekonomi yang besar.
Compas FMCG Report untuk Semester 1 2024
Nurhayati Subakat, sang pendiri berkisah mulanya Wardah merupakan bisnis skala kecil rumahan di tahun 1995. Bahkan dia meracik sendiri produk dan memasarkan dari salon ke salon. Bahkan usaha ini pernah hampir gulung tikar setelah mengalami kebakaran hebat yang menghanguskan pabrik (legalyn.id). Sekali lagi kisah brand ini membuktikan modal ekonomi bukanlah faktor utama kesuksesan.
Akhirnya, konversi ke modal ekonomi adalah tujuan akhir. Namun seperti halnya Luffy, brand tidak selalu perlu memulai dengan modal ekonomi besar. Dengan memahami arena (marketplace atau pasar modern) dan membangun habitus organisasi yang adaptif serta berorientasi nilai, brand bisa mengonversi modal kultural, sosial, dan simbolik menjadi keuntungan ekonomi yang nyata.
Sama halnya Bourdieu (dalam Yusuf, 2023) yang menolak pandangan individu hanyalah pion yang digerakkan oleh struktur sosial. Ia menekankan individu, atau dalam konteks tulisan ini brand, memiliki kemampuan untuk bertindak, tetapi tindakan mereka selalu dipengaruhi oleh habitus yang telah terbentuk. Misalnya, seorang founder berlatar pendidikan apoteker (seperti Nurhayati Subakat founder Wardah) dan ditempa selama menjadi karyawan akan memiliki habitus yang berbeda dengan orang lain yang berlatar pendidikan dengan tempaan berbeda pula. Habitus ini akan memengaruhi bagaimana mereka berinteraksi dengan dunia, bagaimana mereka memahami nilai-nilai sosial, dan bagaimana mereka bertindak dalam berbagai situasi.
Sedangkan arena (Bourdieu dalam Rosyadah, 2018; Edgerton, 2014) merupakan tempat individu berinteraksi dan bersaing untuk mendapatkan sumber daya dan kekuasaan. Setiap arena memiliki aturan dan hirarki tersendiri, dan individu/brand akan berusaha untuk memaksimalkan modal mereka dalam arena tersebut. Keberhasilan John Marco Rasjid, Christopher Madiam, dan Chrisanti Indiana dalam membangun Sociolla selain karena memang modal kultural dan sosial mereka juga sudah kuat (jebolan lulusan luar negeri) juga didukung pemahaman terhadap arena digital startup (identifikasi white gap, pain point, positioning, dll).
Mereka menyadari dalam arena bisnis digital, modal ekonomi dalam bentuk suntikan dana segar dari venture capital amat dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan perusahaan (Finfolk.co). Dengan cermat membaca peluang dan aturan main di arena digital tersebut, Sociolla sukses mengonversi modal sosial dan kulturalnya menjadi modal ekonomi dari investor, yang kemudian berefek kepada penguatan modal simbolik yaitu posisi brand di pasar kecantikan Indonesia.
Strategi brand seperti Kopi Kenangan, Sociolla, dan Wardah menunjukkan brand lokal pun dapat menuju Kaizoku Ou ni jika cermat dalam mengelola modal, memahami arena persaingan, dan membentuk habitus yang strategis dan konsisten. Seperti Luffy, brand mungkin memulai dengan keterbatasan, tetapi dengan strategi konversi modal yang tepat, sukses yang besar bisa diraih meski tidak pernah mudah. Siapa sangka, mungkin brand Anda hanya satu langkah lagi menuju petualangan besar di Grand Line-nya pasar global.